Saturday, November 25, 2017

Cerita Terjemahan - (Starters #2) Enders

Terjemahan (Starters #2) Enders karya Lissa Price

cerita-terjemahan-starters-#2-enders-lissa-price

Bab 2
Bagian 5

Aku duduk di kursi belakang limusin bersama kepala staf senator dan Lauren. Sebelum pengeboman itu, Senator Bohn memimpin sebuah penyelidikan Kongres Prime Destinations, tapi penyelidikan itu habis sudah. Komputer yang disita dari Prime sudah dikosongkan, jadi tak ada yang bisa dipelajari dari mereka. Tim itu menemui jalan buntu. 

Tapi pengeboman itu telah menghidupkan kembali semangat kami untuk menemukan si Pak Tua. Dengan surat perintah penggeledahan yang telah Senator Bohn dapatkan, kami menuju satu-satunya tempat untuk menyudahi urusan dengan si Pak Tua. Satu-satunya halangan adalah karena pencarian ini dilakukan dengan sangat cepat, surat penggeledahan kami sifatnya bersyarat: hanya untuk pemeriksaan saja. Saat mencapai tempat tujuan, kami hanya bisa memeriksa dokumen dan komputer mereka, bukannya menyalin apa pun. Itulah yang membuat peranku jadi lebih penting, akulah satu-satunya di antara kami bertiga yang pernah menghabiskan waktu di sana.

“Ngeri ya soal Reece,” ucap Lauren. “Aku merasa sangat bertanggung jawab.”

“Itu bukan salahmu,” ucapku. “Reece memilih untuk jadi donor sebelum kau datang menyewanya.” Lalu aku penasaran, kenapa si Pak Tua melakukan ini? Apa kebetulan dia memilih tubuh donor waliku untuk dikorbankan? Kurahasiakan hal ini, tak ingin Lauren merasa lebih buruk lagi.

“Katamu dia bertingkah aneh?” tanya Lauren.

“Kurasa dia dikendalikan. Tapi kerja mereka nggak terlalu bagus. Ekspresi dan gerakannya putus-putus. Kelihatan nggak alami.”

Lauren bergidik.

“Lalu ada si Ender ini,” sambungku, “pria ini bicara dengannya, tepat sebelum ledakan itu.”

“Pria apa?” tanya si kepala staf.

“Ender yang tinggi, kuat, mungkin umurnya seratus tahun,” sahutku. “Ada tato macan tutul di lehernya. Pria itu mengikutinya di sepanjang mall tepat sebelum ledakan itu terjadi.”

“Berapa lama mereka bicara?” tanya kepala staf.

“Beberapa detik.” Aku menelan ludah. “Terjadi di dalam mall, dari semua tempat.” tambahku. “Dengan banyak anak kecil.”

“Dia ingin menunjukkan kalau kita bisa menutup Prime,” simpul kepala staf, “tapi kita nggak bisa menghentikan dia.”

Jadi, itu bukan salah Lauren, tapi salahku. Si Pak Tua menargetkan mall yang akan kudatangi, menggunakan tubuh donor waliku, Starter yang kukenal, dan dia menunjukkanku kalau dia masih mampu menyakiti kami. Salahku orang-orang itu terluka dan Reece terbunuh.

Kupejamkan mataku sejenak.

Supir itu menepi. Kami sudah sampai. Aku tak bergerak.

“Kau nggak perlu masuk,” ucap Lauren.

“Harus. Karena itulah aku di sini.” tampikku. “Aku mengenalnya lebih dari kalian. Mungkin saja ada petunjuk, sesuatu yang ada hubungannya dengan apa yang dikatakannya padaku. Kalian nggak boleh menyalin apa pun, jadi kalian butuh mataku.”

Aku nggak benar-benar ingin masuk ke dalam, tapi aku harus melakukannya. Aku keluar dari mobil dan memandang Penjara 37. Dinding besar nan kelabu itu membuat hatiku terasa berat. Komplek itu kelihatan seperti penjara sungguhan, dengan gerbang besi yang berat dan tempat keamanan. Dindingnya mengejek dan menantangku untuk kembali. Tidakkah aku idiot kembali ke sini? Terakhir kali, aku kehilangan teman terbaikku di atas dinding itu.

Lauren berdiri di sampingku. Dia tersenyum, dan kerutan halus terbentuk di sekitar matanya.

“Tidak apa-apa, Callie. Kami akan ada di sampingmu.”

Supir tadi menunggu di dalam mobil sementara kami bertiga berjalan menuju gerbang. Aku aman, ‘kan? Kami punya kekuatan dan uang, jauh lebih banyak dari orang-orang mengerikan di tempat ini. Lebih dari kepala keamanan yang kejam itu, penjaga penjara lamaku—Beatty.

Jadi kenapa tanganku bergetar?

Lauren sadar dan menyentuh pundakku.

“Jangan khawatir. Kau nggak akan melihat dia. Kita cuma akan bicara dengan kepala penjara.”

Aku mengangguk. Walau Beatty menghantui ingatanku, kemungkinan besar kami nggak akan menemuinya. Dia mungkin sedang ada di salah satu sel penjara bawah tanah, menyiksa beberapa Starter yang malang. 

Pintu gerbang terbuka dengan bunyi gemeretak mengerikannya yang membuat rahangku ngilu. Aku menunduk dan tersadar bahwa tanganku sudah berhenti bergetar.

Segera kami berada di kantor utama, menunggu kedatangan si kepala penjara. Kepala staf dan Lauren duduk di kursi kulit tua. Aku terlalu gelisah untuk duduk. Aku mondar-mandir di ruangan itu. Tak banyak warna di sana. Di dinding tergantung lukisan pudar dengan pemandangan orang Inggris yang sedang berburu. Seorang pemburu dengan bangga mengangkat seekor rubah yang sudah mati. Pas, kurasa.

Di atas meja, sebuah kilau menarik perhatianku. Datangnya dari belati pembuka surat dengan gagang berbentuk ular dan batu zamrud hijau di bagian matanya. Di sampingnya, screensaver layar udara yang ada bukannya air terjun dan margasatwa namun cuplikan dari Huntdown, permainan menembak dengan pemain tunggal dimana para Starter jalanan diburu. Aku tahu lebih dari siapa pun seberapa brutalnya tempat ini, tapi gambar itu bahkan membuatku terkejut.

Aku merasa mual. Aku benci berada di sana. Aku cuma ingin dapatkan jawaban kami dan pergi. Yang kami butuhkan adalah sebuah alamat, nomor kontak, bahkan mungkin rekening bank. Pasti ada cara untuk menemukan si Pak Tua.

“Callie? Kau nggak mau duduk?” tanya Lauren.

Pintu terbuka dan aku menegang. Alih-alih kepala penjara, aku malah berhadapan dengan Beatty.

“Callie,” sapa Beatty dengan suara seraknya. “Senang bertemu denganmu lagi.”

Diulurkannya tangannya yang keriput padaku. Kelihatannya tahi lalat di wajahnya tumbuh lebih besar. Kulipat tanganku. Jika kebencian di mataku bisa menyalakan api, dia mungkin sudah terbakar sampai garing.

Kepala staf berdiri dan mendekatiku. “Kami mengharapkan kepala penjaranya.”

Senyum kecil merayap di satu sisi wajah Beatty. “Ya. Kau sedang menatapnya.”

“Kau?” semburku.

“Yah. Aku sudah dipromosikan.”

Aku mundur selangkah. Kurasa aku tersentak, karena kepala staf lalu menaruh tangannya di bahuku. Bagaimana bisa? Seharusnya dia sudah ditangkap karena menyuruh tentara menembak Sara dengan ZipListrik. Dia tahu tentang jantung Sara.

“Kau kepala penjaranya?” ucapku.

“Itu benar, Callie.” Dia memberi penekanan pada namaku seakan-akan aku baru saja dipanggil untuk dieksekusi.

Rambut putihnya dipotong pendek di bagian samping, dan sisanya membubung ke atas. Dia tak lagi mengenakan seragam abu-abu sederhana atau lencana. Malah, dia mengenakan setelan wol yang tampak mahal dengan syal oranye yang terlilit di lehernya.

Aku ingin mengambil syal itu lalu menariknya sampai wajah Beatty jadi biru.

“Kami di sini untuk berdiskusi tentang CEO Prime Destinations.” tegas kepala staf.

“Bagaimana dengannya?” tanya Beatty.

Lauren bergabung dengan kami sementara si kepala staf melanjutkan. “Kami punya panggilan untuk penyelidikan Senat,” lanjutnya, sambil menarik sebuah amplop. “Untuk memeriksa beberapa catatan yang ada hubungannya dengan Prime Destination dan institusinya.”

“Apa yang kalian cari?” tanya Beatty saat membuka amplop itu.

“Secara spesifik?”

“Kami perlu menemukan dimana dia bersembunyi,” jawabku.

“Institusinya mungkin tahu bagaimana cara mengubunginya,” kata Lauren. “Karena mereka berbisnis dengannya.”

Beatty mengelengkan kepalanya seolah-olah kami baru saja minta satu juta dolar padanya. “Dia yang selalu memulai kontak dengan kami. Kepala penjara yang sebelumnya nggak tahu cara menghubunginya.”

“Barangkali ada seseorang di sini—asisten kepala penjara sebelumnya—yang mungkin lebih tahu?” tanya Lauren.

“Dia sudah nggak ada.” Bibir Beatty membentuk senyuman tipis yang angkuh saat menyerahkan amplop kembali pada kepala staf.

“Orang-orang datang dan pergi di sini.” Aku nggak tahan.

“Kau pasti tahu,” ucap Beatty, bersandar lebih dekat ke wajahku.

Aku ingin menamparnya.

Tiga tentara Ender yang tinggi memasuki ruangan. Masing-masing memosisikan dirinya di belakang kami. Satu dari mereka menyerahkan selembar kertas pada Beatty, yang kemudian dia serahkan pada kepala staf.

“Apa ini?” tanya kepala staf.

“Surat perintah pelarangan,” sahut Beatty dengan lancar.

“Apa artinya itu?” Kutanya Lauren.

“Artinya kasus ini akan ditangguhkan di pengadilan sebelum kita dapat jawabannya,” jawab kepala staf. Lalu dia mengalihkan pandangannya dari kertas ke Beatty. “Kau pasti punya teman berkedudukan tinggi.”

Seulas senyum melintas di wajah Beatty. “Kau nggak tahu.” Dia menoleh pada para tentara. “Keluarkan mereka dari sini.”

Kepala staf dan Lauren dikawal duluan. Tentara lainnya menarik sikuku dan mengikuti mereka ke pintu. Tapi Beatty berbisik padanya. Disaat terakhir, tentara itu melepaskanku dan keluar sendirian, menutup pintu di belakangnya dan meninggalkanku di dalam.

Aku berdiri sendirian di sana bersama Beatty. Jantungku berdegup kencang. Dia menarik pergelangan tanganku dari pintu, ke arah mejanya.

“Beraninya kau kembali ke sini dan mengira kau bisa mengintip dokumen rahasiaku?” senggaknya. “Seharusnya kau hidup dengan cukup baik, kau dengan mansion di Bel Air.”

Dia tahu dimana aku tinggal. Nggak mengejutkan, tapi itu sebuah ancaman. Dia mencengkeram pergelanganku lebih keras.

“Lepaskan aku!” teriakku. Pintunya terlalu jauh dan terlalu tebal untuk didengar orang.

“Kau kalah banyak, Callie.” Wanita itu memandangku dengan wajahnya yang penuh tahi lalat. “Dan kau bakal kalah. Tak akan lama sebelum kau lengah. Dan aku akan melihatmu dikurung di sini lagi, tempatmu yang seharusnya.”

Tanganku memutih. Kucoba untuk melepaskan jari-jarinya, tapi dia membenamkan kuku-kukunya di lenganku. Aku bisa menggigit lengannya untuk melepaskan diri, tapi itulah yang dia inginkan. Dia akan menyuruh tentara untuk memasukkanku ke dalam sel lagi, dan Lauren harus menggunakan lebih dari satu pengacara untuk mengeluarkanku. Dengan koneksi Beatty, aku mungkin takkan pernah bisa keluar.

Kulihat belati pembuka surat bergagang ular di atas meja Beatty. Aku tahu aku nggak bisa menggunakannya. Aku terus memandang pembuka surat itu, untuk mengalihkan perhatian Beatty, trik yang pernah kupelajari di jalanan. Dia termakan trik itu dan mengalihkan pandangannya dariku.

Disaat itu, aku bisa membebaskan diri.

Aku berlari ke pintu dan coba untuk membukanya, tapi terkunci. Aku menggedornya. “Keluarkan aku!”

Pintu itu terbuka dan Lauren beserta kepala staf berdiri di samping para tentara yang menyimpan kuncinya. Lauren memeluk bahuku.

“Anda baik-baik saja, ibu kepala?” tanya para tentara itu.

Beatty merapikan setelannya sambil berjalan mendekati kami. “Bawa mereka ke pintu keluar.”

Saat para tentara membawa kami pergi, aku menoleh untuk yang terakhir kalinya pada Beatty. Kuharap nggak kulakukan. Dia bersandar di ambang pintu, seulas senyum yang ganas dan penuh kemenangan menyebar di wajahnya.

Nggak mungkin aku bisa mengalahkan tatapannya itu. Satu poin untuk Beatty.

* * *

No comments:

Post a Comment

COPYRIGHT © 2018 KUBUKA KAMUS | THEME BY RUMAH ES