Saturday, October 28, 2017

Cerita Terjemahan - (Starters #2) Enders

Terjemahan (Starters #2) Enders karya Lissa Price

cerita-terjemahan-starters-#2-enders-lissa-price

Bab 2
Bagian 4

Saat berkendara untuk menemui Blake, pandanganku mulai mengabur. Aku tahu selanjutnya apa karena ini pernah terjadi sebelumnya, belum lama ini. Aku pun menepi ke pinggir jalan.

Aku menghidupkan kembali ingatan Helena, seolah-olah ingatan itu milikku. Ingatan yang kembali itu adalah efek paska transposisi—proses pemindahan pikiran-tubuh.

Ingatan itu berputar di pikiranku seperti ingatanku sendiri. Kulihat hal itu terjadi, dan aku bisa merasakan perasaan Helena. Dia melangkah ke dalam Prime untuk pertama kalinya. Semua orang tersenyum padanya; para resepsionis, Mr. Tinnenbaum, dan kemudian si Pak Tua. Pikirannya menjadi milikku, tapi tak seperti mendengar suaranya; tidak, aku sebenarnya merasakan keputusasaannya. Bagaimana orang-orang ini mencuri Emma dariku, merobeknya dan melasernya dan memotong dagingnya dan mengubahnya. Bagaimana, karena mereka, dia salah arah. Pergi. Lenyap. Dan mungkin saja sudah mati.

Aku merasakan kehampaan Helena. Betapa dia sangat kesepian. Seperti kebanyakan ingatan, yang pendek dan kemudian lenyap. Namun ingatan itu melintas seperti gelombang emosional, dan kesedihan itu bertahan hampir selama mengemudi. Kenapa ini terjadi? Dan apakah aku satu-satunya donor yang mengalami ingatan-ingatan aneh dari transfer pikiran-tubuh itu?

Kupilih taman Beverly Glen untuk menemui Blake. Saat kulihat dia sedang menungguku, duduk di atas meja piknik, jantungku berdegup kencang.

Melihat Blake dengan cahaya matahari yang menimpa rambutnya, aku tak bisa lupa saat kami bertemu di sana sebelumnya. Hanya saja, saat itu Pak Tua sungguhan yang ada di dalam tubuh Blake. Kupilih tempat ini sebab tempat ini dekat dan ada pengawal pribadi untuk melindungi kami. Namun mungkin ada alasan tak masuk akal lainnya kenapa aku memilih taman yang sama.

Aku terus melangkah, sambil mengamati Blake di sepanjang jalan. Dia menumpukan sikunya di atas paha, dengan kedua tangan tergenggam, seperti yang kuingat. Tapi harus kuingatkan diriku bahwa dia bukan orang yang pernah bersamaku saat itu. Lelaki itu Blake sungguhan, cucu Senator Harrison, yang mengira dirinya sakit, yang tak tahu apa-apa tentang bank tubuh, satu-satunya petunjuk bahwa kami pernah punya hubungan adalah sebuah foto saat kami bersama di ponselnya.

Diulurkannya tangan untuk membantuku naik ke atas meja.

“Aku senang kau datang,” ucapnya.

“Maaf, tapi aku nggak bisa lama-lama.”

“Kenapa enggak?”

“Ada Zing penting yang sedang kutunggu.” Aku tahu alasan itu terdengar lemah. “Tapi aku datang ke sini karena ada yang harus kuceritakan padamu.”

“Ada yang ingin kutanyakan padamu. Kau tahu segalanya tentang kita. Aku tahu zip.”

“Sekarang itu nggak penting.”

“Itu penting buatku.” Blake mengeluarkan ponselnya. “Jadi gimana dengan foto kita ini?”

Dia menunjukkan foto bahagia kami berdua, yang saling merangkul. Tapi itu kebohongan. Lelaki di gambar itu si Pak Tua sungguhan.

Sakit rasanya melihatnya.

“Apa yang kita lakukan?” tanya Blake. “Maksudku, dihari itu?”

“Menunggang kuda.”

“Di peternakan kakekku?”

“Iya.” Aku benci mengenang hari itu. Saat itu, kukira salah satu hari terbaik dalam hidupku.

“Sepertinya kita bersenang-senang.”

Aku mendesah. “Benar.”

Mata kami berserobok. “Apa lagi yang sudah kita lakukan?”

“Kita pergi ke Pusat Musik dan restauran Drive-In. Kita lihat matahari tenggelam.”

Aku tak melengkapinya dengan detail yang kulihat di pikiranku: bagaimana kami melihat matahari tenggelam di balik pegunungan, kuda kami bersisian, sambil menyeret kaki. Bagaimana dia memberiku anggrek, bunga pertama yang pernah diberikan seorang lelaki padaku. Menghidupkan kembali ingatan itu terasa menyakitkan. Bukan karena kenangan itu telah hilang, tapi karena kenangan itu tidak pernah benar-benar ada. Toh, tidak dengannya.

“Tidak, maksudku, apa kita melakukan hal lain?” Blake meregangkan leher seakan-akan kerahnya terlalu ketat. “Yang … lebih dari itu?”

“Tidak. Kita hanya berciuman.”

Pada saat itu, itu bukan “hanya” ciuman bagiku. Tapi Blake tak perlu tahu.

“Kuharap aku bisa mengingatnya,” ucapnya.

“Kuharap kau juga bisa mengingatnya.”

Sesaat dia ragu, seolah-olah dia sedang coba ‘tuk melihat apakah aku bersungguh-sungguh dengan yang sudah kukatakan. Kemudian dia mencondongkan tubuhnya ke depan, dengan ragu-ragu, matanya mencari petunjuk di setiap langkahnya.

Aku membungkuk lebih dekat hingga wajah kami hampir bersentuhan. Dia beraroma kayu dan rumput, sama seperti sebelumnya.

Kami berciuman. Ciuman itu … tak seperti yang sebelumnya.

Awalnya sama, kelembutan bibirnya, wangi kulitnya. Namun percikan yang pertama kali kurasakan, aliran listrik yang manis itu, telah tiada. Hanya ada di pikiranku. Kucoba lagi. Mungkin saja ada di sana, dan aku cuma kurang sensitif saja. Mungkin itu karena aku. Mungkin aku terlalu gugup.

Tenang. Temukan.

Namun aku berhenti. Menarik diri.

Tidak.

Bukan itu.

Dia menarik dirinya juga dan memandang dari kejauhan. Kami duduk kembali, berdampingan, tak saling bersentuhan. Diusapnya rambutnya. Kulihat ponselku. Belum ada Zing.

“Kelihatannya kau sangat ingin pergi,” ucapnya, pasrah.

“Enggak, maaf, ini benar-benar penting.” Kutaruh ponsel itu.

“Jadi kau mau cerita apa padaku?”

Aku menoleh padanya. Akhirnya, bisa kulakukan yang mesti kulakukan di sini. “Kau dalam bahaya. Kita berdua dalam bahaya.”

“Apa?” Dia menatapku seolah-olah kukatakan bahwa bumi itu datar.

Aku perlu memulai ini dengan sesuatu yang sudah dia tahu. “Kau sudah dengar berita tentang pengeboman di mall itu?”

Dia mengernyit. “Pengeboman? Mereka bilang di berita itu cuma ledakan. Kebocoran gas.” 

“Itu pengeboman. Dan bisa saja kau atau aku yang terbunuh.”

Dia menjauh dariku. Tak akan mudah meyakinkannya.

“Aku berjanji pada kakekmu untuk nggak cerita padamu.” kataku. “Dia ingin melindungimu, tapi sekarang kau harus tahu. Bangunan yang kita lihat hancur di Beverly Hills itu, Prime Destinations?”

Blake mengangguk pelan.

“Kau diculik dan dibawa ke sana. Mereka menanam chip di kepalamu. Tubuhmu digunakan—ditempati—oleh pemilik Prime. Namanya transposisi. Itulah kenapa kau nggak ingat tentang foto itu. Saat itu bukan dirimu.”

“Aku dimana?”

“Otakmu seperti sedang tidur.” Kulambaikan tangan seolah-olah untuk mengenyahkannya.

“Yang penting adalah, kau ingin mencegahnya—dia dipanggil Pak Tua. Kau akan mengenalinya karena dia memakai topeng elektronik di wajahnya dan dia punya suara palsu yang mengerikan. Dia berencana untuk membuat banyak Starter permanen—jadi kita nggak akan pernah terbangun. Tapi kami menghentikannya.”

Blake mengeluarkan suara yang terdengar seperti setengah tawa, setengah dengusan. “Ini gila.”

“Aku tahu kedengarannya gila, tapi ini nyata. Aku punya chip juga.” Kusentuh bagian belakang kepalaku.

Diusapnya pelipisnya, seolah-olah menyakitkan untuk memikirkan semua kegilaan ini. Ponselku melayangkan sebuah Zing dari kantor Senator Bohn.

Surat perintah penggeledahannya sudah didapat. Telepon aku.

“Itu dia. Aku harus pergi,” tandasku.

“Sudah?” Bahunya merosot. “Tapi aku punya sejuta pertanyaan.”

“Maaf, tapi kita harus menghentikan dia. Tanya kakekmu. Bantu saja aku dan jangan bilang kalau aku yang cerita.”

Aku benci meninggalkannya di sana setelah memberinya berita yang membingungkan. Tapi mereka sedang menungguku.

“Jangan bicarakan ke siapa pun sampai kau bicara dengan kakekmu.” pintaku.

Selagi bergegas, kurasakan rasa nyeri di dadaku, seolah-olah hatiku telah dicabut. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri—aku rindu Blake.

Hanya saja bukan Blake yang ini.

Tapi itu artinya aku merindukan … tidak. Maksudku, aku nggak mau memikirkan tentangnya. Itu terlalu mengerikan. Menjijikkan. Aku perlu menyingkirkannya dari pikiranku dan fokus pada bagaimana kami akan menghentikan dia.

* * *

No comments:

Post a Comment

COPYRIGHT © 2018 KUBUKA KAMUS | THEME BY RUMAH ES