Saturday, September 2, 2017

Cerita Terjemahan - (Starters #2) Enders

Terjemahan (Starters #2) Enders karya Lissa Price

cerita-terjemahan-starters-#2-enders-lissa-price

Bab 1
Bagian 4

Mall yang gemerlapan berbeda jauh dengan kehidupan para penghuni liar yang keras. Ender penjaga berdiri di luar toko, memeriksa wajah setiap Starter yang melintas dengan tatapan tajam. Seorang penjaga mengintai beberapa bocah lusuh yang sedang mengiklankan status tanpa keluarga mereka dengan wajah kotor dan celana bernoda. Ender itu lalu memperingatkan sekuriti mall, dan dengan kasar mereka mengawal bocah-bocah itu ke pintu keluar. 

Tempat ini pernah jadi mall kelas atas bahkan sebelum Perang Spora memperluas jarak antara si miskin dan kaya. Meski tidak semua Ender kaya dan tak semua Starter miskin, seringnya terlihat begitu. Namun di sini, aku berpapasan dengan beberapa Starter keren, berkilauan dalam atasan dan jeans maya, yang berganti warna dan tekstur saat mereka bergerak. Mereka tampak seperti burung yang eksotis, bahkan para prianya, yang mengenakan kacamata display udara, tumpukan syal, serta topi dengan panel surya tipis untuk mengisi daya. Mereka yang punya chip pengatur suhu dalam jaket metalik berkilat yang terus-terusan menyala. Yang lainnya memakai pelipat instan untuk mengecilkan luaran mereka hingga bisa diselipkan ke dalam dompet. Orang-orang bilang mereka berdandan begitu untuk membedakan diri dari Starter jalanan. Aku punya satu lemari penuh pakaian seperti mereka, warisan dari cucunya Helena. Tapi itu bukan gayaku. 

Mereka semua diklaim sebagai Starter yang tinggal di mansion seperti milikku. Aku tak selalu bisa membedakan mereka dari orang-orang sepertiku yang penampilannya sudah diubah oleh bank tubuh. “Metal” seperti kata gadis itu. Starter di mal ini cantik karena mereka mampu. Mereka punya Ender sebagai ahli kulit, dokter gigi, dan penata rambut terbaik serta semua krim dan perlengkapan kecantikan yang sanggup kakek-nenek mereka beli. Perang Spora nyaris tidak menyita kebiasaan belanja mereka. 

Kuhentikan diriku. Itulah aku, menghakimi mereka, padahal mereka kehilangan orangtua juga. Mungkin kakek-nenek mereka nggak bersikap baik pada mereka, tapi malah dingin dan marah, setiap hari mesti melihat wajah yang mengingatkan mereka akan anak lelaki dan perempuan yang hilang. 

Perang Spora telah mengubah kami semua. 

Kugaruk bagian belakang kepalaku dan kuedarkan pandang ke sekitar, berharap melihat toko sepatu. Seharusnya kutemui Michael dan Tyler di gerai makanan, tapi sejak misiku memberi makan tunawisma gagal, aku jadi tiba lebih awal. Kutelan ludah keras-keras, sambil memikirkannya. Michael benar—seharusnya aku tak pergi sendirian. Seharusnya kuingat kecerdasan jalananku: Jangan sekali pun melepaskan tangan dari tasmu. Jangan pernah berdiri dengan punggung menghadap pintu masuk. Siagalah untuk bertarung. Semua pekerjaan itu dan aku cuma memberi makan dua orang Starter, yang bahkan melarikan diri tanpa berterima kasih padaku. 

Kuarahkan perhatianku pada display layar udara penunjuk yang ada di tengah-tengah mall. 

“Sepatu,” ucapku pada mikropon tak kasat mata. 

Display tersebut menarik peta toko sepatu dan memproyeksikan sebuah holo ke udara. Itu satu-satunya toko sepatu atletik yang ada di mall ini. Mengingat Tyler, dia pasti sedang mencoba setiap pasang sepatu yang ada di sana. Aku perlu menyelamatkan Michael. 

Aku mengarah ke toko itu, melewati seorang nenek yang sedang bersandar di lengan seorang Starter cantik, mungkin cucunya. 

Dia cantik. 

Aku berhenti. 

Itu suara elektronik palsu yang ada di kepalaku, dan hal itu membuatku mengatupkan gigi. 

Pak Tua. 

Halo, Callie. Apa kau rindu aku? 

“Tidak. Sedikit pun tidak.” Aku berjuang untuk membuat suaraku terdengar datar. “Di luar pikiranku.” 

Pintar. 

Lalu aku ingat dia bisa melihat lewat mataku. Kutaruh tanganku di punggung jadi dia tak bisa melihatnya bergetar. 

Aku nggak beli dia sama sekali. Aku yakin kau memikirkanku setiap hari. Setiap jam. Setiap menit. 

“Semuanya tentang kau, ‘kan?” Aku benar-benar ingin meneriakinya, tapi para penjaga bakal mengira aku sudah gila. 

Kupandangi mereka. Apa mereka memandangiku karena aku bicara pada diri sendiri? Tidak, aku bisa saja bicara pada earpiece. Mungkin mereka menangkap kegugupanku. Bukan berarti mereka bisa melakukan apa pun untuk membantuku. 

“Apa maumu?” 

Aku ingin seluruh perhatianmu. Dan kau akan bersedia memberinya padaku. 

Udara dingin merambati tubuhku. 

Lihat ke kirimu dan katakan padaku apa yang kau lihat. 

“Pertokoan.” 

Lihat terus. 

Aku berputar ke kiriku. “Cuma … toko cokelat, toko perhiasan, toko yang udah tutup.” 

Kau nggak cukup usaha buat melihatnya. Apa lagi? 

Kuambil beberapa langkah. “Pengunjung. Ender, beberapa dengan cucunya, beberapa Starter…” 

Ya. Starter. Lihat terus. 

Mataku memindai area tersebut. Dia ingin aku mencari beberapa Starter? 

“Ini game panas-dingin ya?” 

Lebih kayak panas-panas. Cuma akan segera kau lihat kalau ini bukan game. 

Aku berdiri di tengah-tengah mall selagi para Starter dan Ender bergerak di sekelilingku. Dia ingin aku melihat seorang Starter. Ada banyak … tapi yang mana? Kemudian aku melihat seorang gadis berambut merah. Aku mengenalnya. 

Reece. 

Dia donor dari waliku, Lauren, yang menyewa buat mencari cucunya. Aku mengingat Reece sebagai seorang teman, tapi tentu saja itu Lauren sungguhan. Reece yang sebenarnya nggak akan mengenaliku. Tapi ada banyak hal yang bisa kuceritakan padanya. 

Dia kelihatan secantik biasanya, dalam gaun pendek bermotif dan sepatu pump silver berhak rendah. Kuhindari para pengunjung untuk mendekatinya. Jaraknya sekitar tiga meter di depanku saat Reece berhenti dan berputar. 

“Aku Callie,” kataku selagi para pengunjung menyelip di antara kami. “Kau nggak mengenalku. Tapi aku mengenalmu.” 

Dia memberiku tatapan paling ganjil, ekspresi yang tak pernah kulihat darinya. Sudut bibirnya tampak setengah tersenyum, tapi gerakannya tidak luwes. Lebih seperti—mesin. 

Ada yang salah. 

Dia cepat-cepat berbalik dan pergi.

“Tunggu,” panggilku. 

Tapi dia terus berjalan. Seorang Ender berjalan di belakangnya. Aku nggak bisa melihatnya, tapi dia punya tato keperakan lebar di sisi lehernya. Bentuknya kurang lebih seperti kepala hewan. Aku hampir tidak melihatnya. Macan tutul, mungkin. 

“Itu Reece, ‘kan? Kau ingin aku melihatnya?” 

Kau selalu bisa diandalkan, Callie. 

Apa Reece tahu kalau Ender bertato macan tutul itu sedang mengikutinya? Aku nggak yakin. Dia berlari menuju sebuah toko. Ender itu pindah ke toko satunya dan pura-pura tertarik pada kalung mutiara pendek yang ada di jendela. 

Kuambil satu langkah menuju toko itu. 

Tidak. Tinggalkan dia sendiri. 

Reece keluar beberapa saat kemudian dan pria bertato macan tutul itu lanjut mengikutinya. Aku terus melangkah, di belakangnya, mengamati mereka berdua. 

“Dia dalam bahaya.” kataku pada Pak Tua. 

Kau lihat saja. 

Rasa takut yang mengerikan membanjiriku. “Apa seseorang ada di dalamnya?” 

Bank tubuh sudah dihancurkan. Tapi si Pak Tua sedang mengaksesku. Dia bisa saja menempatkan seseorang di dalam tubuh Reece. Gagasan itu membuat perutku melilit. Suara elektroniknya. Tato macan tutul. Tubuh Reece sedang digunakan. 

Kulihat toko sepatu ada di depan, sudah dilewati Reece. Tyler dan Michael sedang memasukinya. 

“Michael!” pekikku ke seberang mall, berharap dia bisa mendengarku di antara para pengunjung dan bunyi musik. Dia mungkin enam atau tujuh toko jauhnya. Michael berhenti dan memandang ke sekeliling tapi tak melihatku. Dia masuk ke dalamnya. 

Bagaimanapun Reece pasti mendengarnya, sebab dia berbalik dan menatapku. Aku tak bermaksud agar itu terjadi. Panggilan itu memberi si pria bertato macan tutul kesempatan untuk menangkapnya. Pria itu mengatakan sesuatu di telinganya, dan Reece menggerakkan kepalanya dengan gerakan tak wajar. Pria itu menyentuh lengan Reece dan dia—atau siapa saja yang ada di dalamnya—menjauh. 

“Apa yang sedang terjadi?” Aku membeku di sana, berusaha keras memecahkan teka-teki gelap ini. “Katakan padaku.” 

Hanya karena kau menghancurkan Prime bukan berarti kau menghancurkan aku. Itu bukan satu-satunya fasilitasku. Aku masih bisa mengakses chip yang mana saja. 

Reece mundur dari pria itu dan berlari ke arah toko sepatu. 

Dan aku bisa mengubahnya jadi senjata. 

“Tidak,” kataku padanya, pada diriku sendiri, pada siapa pun di sekitarku. 

Waktu berhenti saat aku menahan nafas. Semuanya terjadi begitu cepat. Kerumunan di sekitarku menjadi kabur dan beku saat aku berlari menuju toko itu. Rasanya seperti berlari melewati air—aku nggak bisa bergerak cukup cepat. 

Jaraknya dua pintu saat, bagaikan peluru, seorang Starter berambut gelap yang mengenakan jaket udara metalik mendatangiku. Aku hanya menangkap wajahnya sekilas—rahang yang keras, mata yang tajam. Dia melemparkan dirinya padaku, melingkarkan lengannya di tubuhku, dan menarikku ke belakang secepat yang dia bisa. Sebelum aku bisa bereaksi, ada sebuah ledakan mengerikan yang menyayat hati. Datangnya dari tempat Reece berdiri. Selagi kami melayang di udara, yang bisa kulihat hanyalah cahaya putih yang menyilaukan.

No comments:

Post a Comment

COPYRIGHT © 2018 KUBUKA KAMUS | THEME BY RUMAH ES