Monday, November 27, 2017

Cerita Terjemahan - (Starters #2) Enders

Terjemahan (Starters #2) Enders karya Lissa Price

cerita-terjemahan-starters-#2-enders-lissa-price

Bab 3

Dia ada di kepalaku lagi, si Pak Tua. Di sini, di rumahku. Aku nggak mau dia melihat apa pun lewat mataku. Itu terlalu menyeramkan.

Callie?

Aku bergegas ke garasi dan menutup pintunya. Kupadamkan lampu lalu berdiri di dekat dinding, dalam kegelapan.

"Jadi siapa yang selanjutnya? Siapa yang sudah kau ledakkan hari ini?"

Nggak perlu gelap-gelapan. Aku nggak perlu lihat kau lagi dimana. Aku bisa mengirim sinyal ke chipmu. Kukira sudah kutunjukkan dengan cukup baik di mall itu.

"Jadi kau bisa meledakkan chip siapa saja dengan mengirimkan sinyal tertentu?"

Seperti itulah. Nggak akan kubeberkan rahasiaku.

"Kau nggak akan meledakkan chipku."

Jadi kau mengerti kalau chipmu itu spesial. Begitu juga dengan dirimu.

"Yang kumengerti adalah kau itu monster dan pembunuh. Dan aku nggak bisa percaya apa pun katamu."

Akan kukatakan satu hal yang benar ya. Dan akan selalu benar disepanjang waktu. Apa kau mendengarkan?

Aku ingin membunuh dia dan suara metaliknya itu. "Ya."

Kata-katanya keluar dengan perlahan. Jangan percayai siapa pun kecuali dirimu sendiri. Setelah jeda panjang, ditambahkannya, Dan kemudian pertanyakanlah hal itu.

"Omong kosong."

Dan ingatlah, aku mungkin nggak ingin meledakkan chipmu, tapi nggak ada yang spesial dengan chipnya Michael. Atau pun Michael sendiri, dalam hal ini.

Kukepalkan tinjuku.

Atau chipnya Tyler.

Apa yang lagi dia bicarakan? "Tyler nggak punya chip."

Ada, dia punya chip.

"Kau bohong. Aku sudah memeriksanya."

Keringat terbentuk di leherku. Aku berpikir kembali. Kami sangat senang telah menemukan Tyler, sangat bersyukur melihat kondisinya yang baik, jauh lebih baik dari sebelum si Pak Tua menculiknya. Dia lebih sehat. Dalam kebahagiaan dan kelegaan, aku nggak memeriksanya dengan benar, tapi setelah itu sudah kulakukan dengan benar.

Bagaimana kau memeriksanya?

"Di belakang kepalanya. Nggak ada bekas luka."

Kami selalu memperbaiki teknologi kami. Kami melaser titik sayatannya. Kerja bagus nggak, menurutmu?

Benarkah itu? Aku merosot di dinding yang kusandari sampai aku bertumpu di atas pahaku. Kepalaku jatuh ke depan. Kuharap ini tipuan. Jika tidak, ini bisa jadi kabar terburuk yang pernah ada, dan sepertiku, Tyler terikat pada si Pak Tua.

"Kau bunuh Reece, kau tanamkan chip ke adikku," ucapku, sambil menggertakkan gigi. "Menjauhlah darinya," Kuarahkan kata-kata itu ke lantai.

Itu terserah padamu.

Kuangkat kepalaku.

Kau bakal menemuiku di lokasi yang kupilih.

Mulutku mengering. Kujilat bibirku. "Dimana?"

Kau nggak akan cerita pada siapa pun, memperingatkan siapa pun, mengirim Zing ke siapa pun. Jika kau langgar, akan kulakukan yang sudah kami perbuat ke Reece kepada Michael. Dan kemudian Tyler. Kau mengerti?

Aku bisa bilang apa? "Ya, sudah jelas."

Kau sudah ada di garasi. Masuklah ke mobilmu.

Aku nggak melihat jalan keluar. Aku nggak sedang berurusan dengan musuh yang bisa kulawan—dia ada di kepalaku. Aku melangkah menuju mobil berwarna biru dan masuk ke dalamnya. Dia memberiku nomor jalan yang tak kukenal.

Aku menyalakan mobil dan pintu garasi terbuka. Aku meluncur dari garasi, menyusuri jalan masuk yang melengkung. Gerbangnya terbuka otomatis dan aku berbelok ke jalanan.

Kucengkeram setir dan kukemudikan mobil dalam keheningan, jantungku berdegup kencang.

Kau nggak perlu takut, Callie. Aku nggak akan menyakitimu. Aku membutuhkanmu.

Aku nggak yakin apa maksudnya, tapi perkataannya itu membuat rambut-rambut halus di lenganku meremang. Bagaimana bisa aku keluar dari hal ini? Aku nggak bisa pergi ke penjara, nggak bisa menelepon Lauren atau senator. Apa pun yang kulakukan, dia akan melihatnya. Apa pun yang kuucapkan, dia akan mendengarnya.

Aku bahkan nggak bisa memperingatkan Michael. Bukan berarti dia bisa sembunyi di mana saja.

Jalan masuk tol terlihat olehku. Aku melewatinya, mengira bahwa semakin lama aku di dalam mobil, semakin banyak pula kesempatanku untuk entah bagaimana menghindari hal yang nggak bisa dihindari. Aku benci jadi bonekanya Pak Tua dari kejauhan, tapi aku takut dikendalikan olehnya. Saat aku berada di dekatnya di institusi itu, dia membuatku takut lebih dari siapa pun yang pernah kukenal. Topeng dengan dengung elektronik yang berderak itu—aku sering bermimpi buruk dimana aku sendirian dengannya dalam kegelapan dan yang bisa kudengar hanyalah suaranya.

Dan bahkan dia mampu berada dalam tubuh Blake, memerankannya dengan halus dan memesona. Bagaimana bisa hal itu masuk akal? Bagaimana kau menyamarkan kejahatan itu? Dia nggak punya jiwa, nggak punya hati. Harusnya aku tahu saat dia ada dalam tubuh Blake. Bagaimana bisa aku melewatkannya?

Aku tahu kau lagi dimana, ya. Seharusnya kau ambil jalan tol.

"Kau dapat apa yang kau inginkan. Aku datang padamu," kataku. "Dan kau mau ngasih tau gimana caranya mengemudi?"

Itu semua cuma main-main jadi dia nggak akan bisa lihat betapa takutnya aku. Di dalam sana, perutku melilit.

"Ngomong-ngomong gimana caranya kau mengakses chip kami?"

Kau akan segera tahu.

Kupikirkan kembali semua tindakan kejamnya. "Apa kau sendiri yang membunuh Helena? Atau kau cuma menonton?"

Orang lain yang membunuhnya.

"Siapa?"

Nggak penting siapa. Dia bekerja untukku.

"Kau membunuh Reece." Pikiranku kembali pada pengeboman itu. "Kau melukai banyak orang di mall itu. Kakek-nenek. Anak-anak. Mereka terluka parah. Mereka kesakitan."

Aku kan harus menunjukkan kekuatanku padamu. Mereka cuma korban perang.

"Perang apanya? Kau melawan semua orang? Starter, Ender, semua orang?"

Akhirnya kau mengerti aku.

Aku mengemudi dalam diam. Aku nggak bisa mengalihkannya lagi. Aku nggak mau dengar suara mengerikannya di kepalaku. Setelah beberapa saat, aku berhadapan dengan alamat jalan lintas yang dia berikan. Aku sudah ada di sana, di Hollywood, di dekat bukit. Jantungku mulai berdetak lebih kencang. Nggak, nggak mungkin. Kukira entah bagaimana aku akan menemukan jalan keluar.

Apa aku menyebabkan kecelakaan? Melarikan diri?

Jangan coba apa pun. Ingat kenapa kau lakukan ini. Untuk Michael dan Tyler.

Seolah-olah dia bisa baca pikiranku—yang tentu saja nggak bisa dilakukannya. Tapi dia tahu apa ancamannya padaku.

"Jalan yang mana?"

Ke atas bukit.

Aku berputar balik dan mesti menginjak rem.

Sebuah kendaraan yang aneh menghalangi jalanku. Kelihatannya seperti persilangan antara SUV dan tank, dan mobil itu berhenti di tengah jalan sempit, di depanku. Aku nggak bisa melihat pengemudinya: jendelanya dicat. Seluruhnya berwarna abu-abu gelap.

"Apa itu?" tanyaku.

Tapi sebelum sempat mendengar jawaban, atau melakukan apa pun, pintu SUV itu terbuka dan seorang pria menghambur keluar. Dia mengenakan pakaian serba hitam, sarung tangan, dan topeng ski yang menutupi wajah.

Aku menjejalkan jari-jariku di tombol dan mengunci mobilku. Dia memegang sesuatu yang berkilauan di genggamannya dan mengarahkannya ke mobilku. KLIK. Pintu mobilku tak lagi terkunci.

Yang selanjutnya terjadi dengan begitu cepat. Seseorang dengan pakaian serba hitam itu menempel di  jendela mobilku—pintunya disentak agar terbuka—dan sebuah tas hitam dilemparkan ke atas kepalaku.

Sebelum aku mengenalinya, tanganku diborgol ke belakang punggungku. Aku melawannya sebaik yang kubisa, menendang dan berteriak, tapi tas itu meredam suaraku. Tas itu panas dan begitu berat seolah-olah terbuat dari besi.

Pria itu menarikku keluar dari mobil dan membawaku ke dalam sesuatu yang kutebak sebagai SUV-nya. Aku dilemparkan ke bangku. Kudengar pintu dibanting, lalu langkah kaki, lalu dia duduk di bangku pengemudi dan menutup pintu itu.

Saat mobil itu mulai bergerak, segera kudengar suara gesekan. Dia pasti memaksa SUV-nya melewati mobilku. Itu nggak ada artinya lagi.

"Tolong ambil tas ini," pintaku. "Aku nggak bisa bernafas."

"Tahan dulu."

Aku terkejut saat menyadari bahwa suaranya terdengar sangat muda, seperti seumuranku. Seperti seorang Starter. Rasanya aneh si Pak Tua mengirim seorang Starter untuk menjemputku.

Kami melaju dalam diam. Tentu saja si Pak Tua nggak akan memberiku alamatnya. Dia cuma ingin membuatku cukup dekat jadi dia bisa bertugas. Membawaku ke suatu tempat dimana aku nggak tahu alamatnya—atau bahkan sebuah kota.

Kurasa si pengemudi mengulurkan tangan dan menarik Velcro di dasar tas. Dia menarik tas itu dari kepalaku. Jendela yang dicat membuat mobil itu tetap gelap, tapi kulihat dia sudah melepas topeng skinya. Aku bisa melihat garis wajahnya, tulang pipinya, rahangnya. Dan matanya yang tajam itu.

Dia Starter yang melindungiku dari ledakan itu.

Aku nggak akan pernah melupakan mata itu. Dia kelihatan tampan dengan cara yang sangat intens, hampir membuatku takut.

"Bisa kau lepaskan borgolnya sekarang?" tanyaku.

"Enggak sampai aku yakin kalau kau mengerti."

"Mengerti apa?"

"Kalau aku nggak akan menyakitimu."

"Kau mendorongku dari jalan sebelum ledakan itu."

Dia nggak menyangkalnya. Nggak masuk akal. Awalnya dia menyelamatkan hidupku; lalu dia menculikku? Dia dikirim Pak Tua untuk menjemputku atau enggak?

"Namaku Hyden."

"Seperti komposer."

"Cuma dieja berbeda."

Aku menyadari senjata berbagai tipe yang memenuhi dinding dan atap. Dia menaruhnya di tempat khusus, yang dibentuk dengan sempurna agar sesuai dengan senjata-senjata itu. Sebuah getaran menjalar di punggungku.

Dia menepi ke pinggir jalan tapi dibiarkannya mesin tetap menyala. "Bersandarlah ke depan."

Aku ragu-ragu, kemudian menurut.

"Jangan bergerak." Dia menarik sebilah pisau.

Dia menggunakannya untuk memotong borgol plexiku. Maksudnya agar bisa dilakukan bahkan tanpa menyentuhku.

Saat dia sibuk menaruh pisaunya, aku bergeser ke pegangan pintu untuk kabur. Tapi terkunci.

"Hei, kau bilang kau percaya aku." katanya.

"Aku nggak pernah bilang begitu. Aku bilang aku mengerti kalau kau nggak akan menyakitiku. Sekarang buka pintunya."

"Kau nggak benar-benar ingin keluar sana."

"Aku harus pergi. Kalau enggak, adik dan temanku akan dibunuh."

"Oleh Pak Tua? Dia bilang begitu?"

"Jadi kau tahu siapa dia."

Aku penasaran apakah dia seorang Metal. Aku memindai wajahnya. Dia tampak sempurna. Yah, nggak sepenuhnya. Dia punya sedikit kekurangan, beberapa bekas luka kecil.

"Aku tahu siapa dia, bagaimana cara berpikirnya. Aku tahu betul dia bisa apa. Aku mengenalnya lebih dari siapa pun."

Apa yang sedang dikatakannya itu sungguh keterlaluan. Bagaimana bisa dia mengenal Pak Tua dengan baik?

"Lebih dari siapa pun?" tanyaku. "Seorang pria yang selalu memakai topeng? Bagaimana bisa?" Aku tetap dekat dengan pintu.

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menyebutkan kata-kata yang tampaknya menyakitkan untuk diucapkan, seolah-olah dia tak pernah mengatakannya sebelum ini.

"Karena aku adalah puteranya."

Bab 4 baca di sini

2 comments:

  1. apakah ada lanjutan untuk terjemahan bab 4 nya ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada kak, akan diupdate sesegera mungkin ya kak. Mohon menunggu :)

      Delete

COPYRIGHT © 2018 KUBUKA KAMUS | THEME BY RUMAH ES